Visual

Keterbukaan Rantai Pasok Keuangan Perusahaan Sawit Untuk Industri Sawit Yang Berkelanjutan

By August 10, 2020 No Comments

5 Bank Terbesar Pendanaan Sawit di Indonesia

Akhir-akhir ini ketika dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa di berbagai negara[1], isu berkelanjutan dan perubahan iklim menjadi perhatian yang sangat serius bagi masyarakat dunia. Negara-negara di Eropa yang menaruh perhatian sangat besar terhadap isu-isu lingkungan, pada tahun lalu akhirnya sepakat  untuk memboikot sawit dari Indonesia[2]. 28 negara Uni Eropa memasukan sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan karena industri sawit yang massif telah mengakibatkan deforestasi alias perusakan hutan. Mereka menganggap pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak dapat dinetralisir, sehingga mereka mengambil kesimpulan sawit bukan industri berkelanjutan dan tidak layak digunakan untuk biodiesel.Ancaman boikot yang digaungkan oleh negara-negara Eropa tentu saja membuat pemerintah Indonesia ketar-ketir. Pasalnya, bagi pemerintah Indonesia, industri sawit yang nilai eksport Crude Palm Oil (CPO) beserta turunannya tahun lalu sebesar  36,17 juta ton, tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu primadona untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan meningkatkan ekonomi nasional.Badan Pusat Statistik (BPS), satu-satunya badan statistik di Indonesia, dalam publikasinya yang berjudul Statistik Kelapa Sawit Indonesia, diterbitkan awal 2019, melaporkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan yang terbesar ketiga, yaitu 12,81%[3], dan kontibusi subsektor perkebunan yang didalamnya termasuk sawit, sebesar 3,30 persen terhadap total PDB (25,75 persen terhadap sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan).Harapan agar dengan adanya rencana boikot, pemerintah menjadi lebih aktif untuk mengontrol  para pelaku bisnis sawit mengembangkan industri yang berkelanjutan, tanpa konflik, dan membangun sebuah sistem rantai pasok yang transparan dan dapat ditelusuri, malah bagai panggang jauh dari api. Alih-alih memperbaiki sistem, Pemerintah Indonesia malah berkelit bahwa apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa adalah kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. Lebih–lebih lagi, pemerintah berencana untuk melakukan banding, walaupun fakta laporan di lapangan membenarkan alasan-alasan pemboikotan negara-negara Eropa.

Padahal, jika pemerintah mau bersedia memperbaiki transparansi di industri sawit, publik dapat menelusuri rantai pasok kelapa sawit yang diekspor. publik dapat melacak dan memastikan bahwa produksi hasil sawit Indonesia didapatkan dan diproduksi dengan cara legal di daerah yang terbebas dari konflik sosial maupun lingkungan. Langkah ini akan menjadi modal penting pemerintah untuk membantah tudingan-tudingan miring produksi sawit Indonesia.

Keterbukaan informasi rantai pasok juga akan memudahkan kita untuk mengetahui siapa saja Investor dan Lembaga Keuangan yang menjadi penyandang dana pelaku industi sawit di Indonesia.

Keterbukaan dalam pendanaan merupakan salah satu hal penting untuk diketahui publik agar publik yang menyimpan uang di Lembaga jasa keuangan (LJK) mengetahui kemana uang mereka diinvestasikan dan dipinjamkan. Apakah uang mereka diinvestasikan ke pelaku bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan atau malah sebaliknya, diinvestasikan kepada pelaku-pelaku yang melakukan pengrusakkan hutan dan melakukan penyerobotan lahan warga sehingga mengakibatkan konflik.

Berdasarkan data TuK INDONESIA (2018), tercatat ada lima bank teratas yang memberikan layanan keuangan bagi pelaku industri sawit di Indonesia dari tahun 2014 sampai 2018. Penyandang dana terbesar pertama adalah Bank Mandiri, disulsul Bank Negara Indonesia (BNI), lalu Malayan Banking, CIMB dan Oversea Chinese Banking Corporation.

Data di atas, menunjukan dari lima bank tersebut, dua terbesar diantaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya bank asing. Berdasarkan investigasi yang dilakukan TuK INDONESIA setelah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019, ditemukan bahwa bank-bank dari Indonesia ikut menjadi penyandang dana terbesar korporasi yang terlibat  karhutla dengan nilai yang cukup fantastis, mencapai USD 3 miliar[4].

Bank Negara Indonesia (BNI) salah satu dari lima bank terbesar penyandang dana untuk sawit, masuk di posisi tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan nilai mencapai USD 1.086 juta. Selain BNI, Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menjadi BUMN yang ikut mendanai perusahaan yang terafiliasi karhutla dengan angka yang lebih tinggi dibanding BNI, yaitu mencapai USD 1.722 juta. Ini artinya selain bank-bank dari negara asing, bank-bank BUMN negara kita ikut memfasilitasi perusahan untuk melakukan pembakaran hutan. Lebih parah lagi, beberapa diantara perusahaan-perusahaan tersebut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah perusahaan yang telah ditetapkan tersangka dan pernah diproses hukum pada kasus karhutla 2015[5].

Selain karhutla, kasus konflik lahan juga jadi masalah serius untuk menjalankan bisnis perkebunan yang berkelanjutan, kasus Korindo misalnya. Pada 2016, pedagang besar minyak sawit, termasuk Musim Mas dan Wilmar mencabut perjanjian pasokannya dengan Korindo karena ditemukan bukti pembukaan wilayah hutan yang sangat luas di Papua, dimana hal ini melanggar kebijakan ‘Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi’ (No Deforestation, No Peat and No Exploitation / NDPE).[6] Ketika kebjikan ini dilaksanakan, maka Korindo tidak dapat lagi mengembangkan sebagian besar tanah yang sudah diakumulasinya dan menyebabkan devaluasi signifikan terhadap aset-aset yang dimilikinya. Hal ini tentunya menjadi risiko serius bagi penyandang dananya seperti Bank Negara Indonesia (BNI) yang pada Quarter 3 tahun 2017 memberikan pinjaman sebesar USD 190 juta kepada divisi agrikultur Korindo.

Lembaga-lembaga keuangan, dalam hal ini bank dan investor, seharusnya sudah menyadari bahwa dengan memberikan pendanaan kepada perusahaan-perusahaan bermasalah, sama seperti menjerumuskan diri pada jurang. Terlebih kepada perusahaan yang pernah diproses hukum, mereka telah merisikokan diri dari sisi reputasi, finansial, dan kepatuhan. Sebaliknya, jika mereka memberikan pendanaan secara hati-hati hanya kepada perusahaan-perusahaan ramah lingkungan, selain mengecilkan tingkat risiko, ini juga akan membantu LJK meningkatkan nilai merk dan reputasi mereka.

Jika informasi rantai pasok industri sawit termasuk pendanaan dapat dibuka dan diakses, sebenarnya bukan hanya publik yang menjadi nasabah Lembaga Keuangan yang diuntungkan, namun juga Lembaga Keuangan itu sendiri. Dengan adanya keterbukaan informasi, mereka bisa melacak track perusahaan yang akan mendapatkan pendanaan, dan mengetahui seberapa besar risikonya. Keterbukaan ini juga akan meningkatkan keadilan dan kepatuhan terhadap hukum.

Lembaga-lembaga terkait, baik otoritas keuangan, lembaga keuangan, maupun penegakan hukum bisa bekerja bersama-sama untuk menciptakan situasi tersebut. Indonesia membutuhkan supra power yang dapat mengkoordinasikan semua lembaga untuk mencapai industri sawit berkelanjutan.

 

Referensi:

[1] Termasuk kasus kebakaran di Australia, Banjir di Indonesia awal tahun 2020

[2]  Kelapa sawit, ancaman perang dagang RI-Uni Eropa dan enam hal lainnya
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47663602 akses 3 maret 2020.

[3] Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018 https://www.bps.go.id/publication/2019/11/22/1bc09b8c5de4dc77387c2a4b/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2018.html akses 3 maret 2020.

[4] Bank-Bank BUMN terbukti mendanai perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan

https://www.tuk.or.id/2019/11/14/bank-bumn-terbukti-mendanai-perusahaan-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan/

[5] KLHK: Perusahaan Tersangka Karhutla Sudah Pernah Didenda 2015

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191001191719-20-435837/klhk-perusahaan-tersangka-karhutla-sudah-pernah-didenda-2015

[6] Rainforest Action Network, TuK-INDONESIA, Walhi, dan Profundo; Malapetaka Korindo, Perampasan Tanah dan Bank (2018).